Baru-baru ini saya terlibat pembicaraan seru dengan generasi diatas
saya yang protes karena cucunya ikut field trip sekolah. Menurut beliau, field
trip adalah akal akalan guru sekolah yang mau traveling dengan gratis, karena biayanya
dibayar oleh orang tua murid.
Perdebatan ini dimenangkan oleh generasi diatas saya yang keukeuh dengan
pendapatnya. Membuat saya berpikir, kenapa bisa 'tidak perlu'?
Waktu saya kelas satu di sekolah dasar, setiap minggu orang tua saya
memberi saya uang 100 rupiah dan menyuruh saya untuk membeli jajanan tertentu
dikios sekolah, FYI, saat itu harga sebuah permen masih 25 IDR. Mungkin minggu
ini membeli 4 buah permen, minggu depan membeli permen dan chocoballs, tapi
selalu jumlahnya tidak boleh lebih dari 100 rupiah. Dengan cara ini saya
belajar untuk menghitung cepat, bahwa 4 koin 25 akan berjumlah 100, bila saya
menghabiskan dua kuarter saya akan punya 50 rupiah, dsb. Dikelas yang lebih
tinggi lagi tiap pagi sebelum sekolah saya disuruh pergi ke kios tetangga di blok
belakang rumah untuk membeli telur ayam yang jumlahnya berbeda beda setiap
harinya, saat itu saya belajar menambah data base GPS saya, belajar
berinteraksi dengan orang, beramah tamah dengan tetangga yang rumahnya saya
lewati, belajar memilih barang yang bagus untuk dibeli. Saat saya duduk di
bangku SMP, saya diberi uang untuk pulang sekolah naik angkot. Disitu saya
belajar untuk berani traveling sendirian, mengadvancekan GPS data base saya,
and meet more strangers. Apa arti semua
ini bila dibandingkan dengan situasi sekarang?
Sekarang bahkan salah satu field trip sekolah adalah berbelanja ke
supermarket, melihat sawah, atau memandikan kerbau. Menurut orang yang besar di
daerah, saya akan berpendapat sama dengan generasi diatas saya bahwa kegiatan
tersebut hanya membuang uang saja. Tapi, lihatlah kondisi Jakarta sekarang, berjalan kaki saja susah, hampir setiap kali
berjalan kaki saya berantem dengan pengendara sepeda motor karena menghalangi
jalan mereka. Padahal saya sudah
berjalan ditepi got. Selain itu ketakutan orang tua karena kasus penculikan
cukup sering terjadi, membuat orang tua bahkan tidak tega menyuruh anaknya
membeli permen di kios tetangga di ujung jalan.
Kondisi lain adalah bagi keluarga yang tinggal di gated community alias
komplek mewah yang ber-cluster-cluster, disana mana ada kios, kalau ingin
belanja ya harus diniatkan keluar rumah dengan menggunakan kendaraan pribadi. Maka
gak heran juga kalau pada akhirnya orang tua harus merelakan budget lebih untuk
field trip sekolah ke supermarket, agar anaknya bisa belajar berbelanja,
belajar memilih barang yang mau dibeli, dan berinteraksi dengan strangers.
Miris memang, saya belum terlalu tua, tapi kondisi disekeliling saya
berubah total dalam waktu 20 tahun. Hedonism dan paranoia makin tinggi, karena
crime, karena banyak orang lapar. padahal brain development dari dulu sampai
sekarang masih sama, harus “dirangsang.” Berbagai kemudahan teknologi membuat
orang semakin berpikir, “Ngapain susah-susah?” Ngapain susah-susah ke kios/toko,
kalau bisa belanja online? Ngapain susah-susah belajar berhitung, kalau ada
kalkulator di hape, di computer tablet, di laptop, bahkan di jam tangan?
Ngapain susah susah mengingat direction, kalau ada GPS yang tinggal tulis
keyword and press enter?
Mungkin jaman memang harus berubah, tapi saya percaya bahwa cara-cara
lama masih mungkin dilakukan bila semua orang mau bersusah susah. Pasti tantangannya lebih besar dari pada waktu
dulu, tapi tidak ada yang tidak mungkin. Atau mungkin kita yang tinggal di kota
harus berkaca dengan kehidupan di desa-desa yang lebih kurang masih sama dengan
keadaan waktu saya kecil diatas. Kenapa mereka masih bisa membiarkan anaknya ke
kios sendirian, masih bisa berjalan di tepi jalanan dengan tenang dan aman,
etc.