Tuesday, April 10, 2012

When Feeling Safety is Challenging


Baru-baru ini saya terlibat pembicaraan seru dengan generasi diatas saya yang protes karena cucunya ikut field trip sekolah. Menurut beliau, field trip adalah akal akalan guru sekolah yang mau traveling dengan gratis, karena biayanya dibayar oleh orang tua murid.

Perdebatan ini dimenangkan oleh generasi diatas saya yang keukeuh dengan pendapatnya. Membuat saya berpikir, kenapa bisa 'tidak perlu'?

Waktu saya kelas satu di sekolah dasar, setiap minggu orang tua saya memberi saya uang 100 rupiah dan menyuruh saya untuk membeli jajanan tertentu dikios sekolah, FYI, saat itu harga sebuah permen masih 25 IDR. Mungkin minggu ini membeli 4 buah permen, minggu depan membeli permen dan chocoballs, tapi selalu jumlahnya tidak boleh lebih dari 100 rupiah. Dengan cara ini saya belajar untuk menghitung cepat, bahwa 4 koin 25 akan berjumlah 100, bila saya menghabiskan dua kuarter saya akan punya 50 rupiah, dsb. Dikelas yang lebih tinggi lagi tiap pagi sebelum sekolah saya disuruh pergi ke kios tetangga di blok belakang rumah untuk membeli telur ayam yang jumlahnya berbeda beda setiap harinya, saat itu saya belajar menambah data base GPS saya, belajar berinteraksi dengan orang, beramah tamah dengan tetangga yang rumahnya saya lewati, belajar memilih barang yang bagus untuk dibeli. Saat saya duduk di bangku SMP, saya diberi uang untuk pulang sekolah naik angkot. Disitu saya belajar untuk berani traveling sendirian, mengadvancekan GPS data base saya, and meet more strangers.  Apa arti semua ini bila dibandingkan dengan situasi sekarang?

Sekarang bahkan salah satu field trip sekolah adalah berbelanja ke supermarket, melihat sawah, atau memandikan kerbau. Menurut orang yang besar di daerah, saya akan berpendapat sama dengan generasi diatas saya bahwa kegiatan tersebut hanya membuang uang saja. Tapi, lihatlah kondisi Jakarta sekarang,  berjalan kaki saja susah, hampir setiap kali berjalan kaki saya berantem dengan pengendara sepeda motor karena menghalangi jalan mereka.  Padahal saya sudah berjalan ditepi got. Selain itu ketakutan orang tua karena kasus penculikan cukup sering terjadi, membuat orang tua bahkan tidak tega menyuruh anaknya membeli permen di kios tetangga di ujung jalan.

Kondisi lain adalah bagi keluarga yang tinggal di gated community alias komplek mewah yang ber-cluster-cluster, disana mana ada kios, kalau ingin belanja ya harus diniatkan keluar rumah dengan menggunakan kendaraan pribadi. Maka gak heran juga kalau pada akhirnya orang tua harus merelakan budget lebih untuk field trip sekolah ke supermarket, agar anaknya bisa belajar berbelanja, belajar memilih barang yang mau dibeli, dan berinteraksi dengan strangers.

Miris memang, saya belum terlalu tua, tapi kondisi disekeliling saya berubah total dalam waktu 20 tahun. Hedonism dan paranoia makin tinggi, karena crime, karena banyak orang lapar. padahal brain development dari dulu sampai sekarang masih sama, harus “dirangsang.” Berbagai kemudahan teknologi membuat orang semakin berpikir, “Ngapain susah-susah?” Ngapain susah-susah ke kios/toko, kalau bisa belanja online? Ngapain susah-susah belajar berhitung, kalau ada kalkulator di hape, di computer tablet, di laptop, bahkan di jam tangan? Ngapain susah susah mengingat direction, kalau ada GPS yang tinggal tulis keyword and press enter?

Mungkin jaman memang harus berubah, tapi saya percaya bahwa cara-cara lama masih mungkin dilakukan bila semua orang mau bersusah susah.  Pasti tantangannya lebih besar dari pada waktu dulu, tapi tidak ada yang tidak mungkin. Atau mungkin kita yang tinggal di kota harus berkaca dengan kehidupan di desa-desa yang lebih kurang masih sama dengan keadaan waktu saya kecil diatas. Kenapa mereka masih bisa membiarkan anaknya ke kios sendirian, masih bisa berjalan di tepi jalanan dengan tenang dan aman, etc.

Friday, April 6, 2012

Should we avoid antibiotics in Jakarta? -- Opinion


Several days ago, my cousin told me about a group whose doctors are againts prescribing antibiotics to their patients. This mailing list is initiated by several pediatricians who think that antibiotic is harmful for children.

Talking about it in Jakarta context, where the air is heavily polluted and hygiene is poor, water source is dirty, trashing is very well uncontrolled, and crowded living spaces; antibiotic is believed to be necessary even for a single viral infection. 

İn western countries, nosocomial infection incidence are lower because the standard of its hospitals are mostly satisfied regarding hygiene. However, in İndonesia, one shouldn't generalize similar condition as a "should have been the same with". İn hospitals in the US for example, even in government hospital you won't see patients family members sleep over at the patient's room altogether. Thus, cross contamination is less likely to happen. On the contrary, most government hospitals patients in Indonesia would love to bring their family members along with them. The more the merrier, even though the patient is unconcious, or even in coma state, all family members would force themselves to come along and stay at the hospital for the sake of togetherness until the patient is discharged. Since they have poor financial situation, they cannot afford to rent a room at a hotel or other places nearby. Thus, they'll usually sleep under patient's bed or at ward corridor on the floor, giving it a hard time for the nurses and docs to reach the patient for regular examination.

Referring to that situation, as a medical doctor, would you consider to risk you patients by not prescribing antibiotics as prophylaxis in the treatment plan? İ wouldn't. İt is understood if unnecessary medication may lead patients to other risk of drug resistants or allergy, however, you would not prefer to risk your patients of having nosocomial infections or secondary infection, due to lack of hygiene and cross contamination, either.

İn terms of ambulatory care, in addition, it is common to prescribe antibiotics to almost every diagnosis in Puskesmas. Again it is because the health providers doubt the hygiene behavior at patients' house.

İt is not guaranteed that patients will generally be avoided from secondary bacterial infection if doctor does not prescribe antibiotics on every infectious disease he meets.

Perhaps, patients who came from middle to upper social class who are believed to live in more hygienic environment would be okay without unnecessary antibiotic regimen in their prescription. These people, who are usually well educated, formally and non formally, are more skeptical to any medical  information/terms that they just heard of, and cooperated well with doctor's instructions.